Subscribe

RSS Feed (xml)



Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Kamis, 23 April 2009

"Aku ga tahu keinginan anakku?"

Kasus
Suatu hari ada orang tua (A) menelpon saya (B) karena kebingungan, tidak tahu lagi apa yang harus dia lakukan. Kebingungan ini disebabkan karena "goreng adat" / perilaku yang kurang baik dari anak remajanya (C). Melalui telpon, saya dengar adanya nada penuh emosi dan kepanikan. Terjadilah dialog seperti berikut:
A: "Tolong saya, pulang sekolah anak saya ga mau pulang ke rumah..."
B: "Apa yang terjadi?
A: "Kemarin saya bertengkar dengan (C) gara-gara hp, hp (C) rusak dan dia pinjam hp saya sudah lama padahal janjinya sehari. Saya 'kan juga perlu hp itu kalau ada teman bisnis, selain itu C kalau sudah pakai hp bisa sampai subuh. Saya takutnya nanti di sekolah C mengantuk dan lagi sudah mau ujian kenaikan kelas. Saya takut dan stres kalau nilainya jelek lagi. Saya bingung ngadepin C, belum papa C lagi sakit, saya benar-benar bingung...C marah-marah dan bicara kasar sama saya, saya bingung, dia minta diperhatikan ketika diperhatikan salah,ga diperhatikan salah, ditanya dia mau apa tetapi jawabnya bentak sambil bilang udah diam. Terus saja dia bilang, saya pilih kasih dan ga sayang pada C dan dia nanti ga akan pulang,dia masukin bajunya ke tas. Tolong omongin C untuk tidak kabur ya bu..."
B: "Ya..,akan saya coba..."
A: "Saya harus gimana bu? saya benar-benar bingung..."
B: "Iya Bu, saya mengerti. Sepertinya komunikasi antara orang tua dan C belum terjalin dengan baik ya Bu..."
A: "Benar Bu, saya sudah coba dekatin C, ngajak C bicara tetapi dia pulang sekolah langsung masuk kamar, ambil makan terus dibawa ke kamar. Tetapi kalau telpon sama temannya bisa sampai subuh, kalau ditegur dan dibilangin sini C ngobrol sama papa-mama. Dia jawabnya, ah diamlah...banting pintu.
B: (saya menceritakan kondisi psikis C). "Ibu, C pada dasarnya adalah anak yang sensitif, bisa diomongin dan kurang PD. Dia memerlukan rasa dihargai, cobalah support dia di bidang seni. Dia pandai men-disaign asesoris, mungkin itu salah satu cara men-support.

Dari penggalan dialog di atas sebenarnya hendak mengatakan kepada kita bahwa kesulitan komunikasi antara orang tua dan anak remajanya dapat terjadi dan menimbulkan stres/ rasa tertekan dalam keluarga baik orang tua sendiri maupun anak-anak.
Dalam membina komunikasi yang baik antara orang tua dan anak, marilah kita perhatikan hal-hal berikut ini:
1. pahami situasi psikis / mental anak remaja sebenarnya(situasi psikis biasanya akan muncul dalam perilaku anak yang sulit diterima oleh orang tua), contoh:
* kurang PD atau pembangkang karena kecewa pada orang tua, sering dipukul dan dicela hasil pekerjaannya.
* tidak mandiri karena orang tua terlalu khawatir dan tidak pernah memberikan kesempatan anak remaja bertanggung .
* tidak bertanggung jawab karena terbiasa memperoleh segala sesuatu dengan mudah sehingga anak menggampangkan segala sesuatu.
* anak remaja menganggap bahwa teman lebih penting dari orang tua karena pada perkembangannya anak remaja sedang mencoba keluar dari tekanan orang tua dan menunjukkan eksistensinya.
2. merespon situasi psikis dengan tepat, contoh:
* anak kurang PD : mulai dihargai hasil kerjanya dan di-support jika hasilnya belum maksimal
* anak tidak mandiri : memberikan tanggung jawab yang sesuai, dapat berdasarkan kebutuhan anak sendiri, sekali-kali biarkan anak naik angkot sendiri.
* anak tidak bertanggung jawab: mengadakan pembagian tugas di rumah
* anak lebih banyak bicara kepada teman : kenalilah teman-teman anak anda, kalau memungkinkan buatkanlah pesta kecil di rumah Anda supaya teman-temannya dapat datang.
3. hargai privacy anak remaja
4. Tetap jalin komunikasi dengan lingkungan dimana anak remaja berkomunitas; sekolah, gereja, atau lingkungan pertemanan sehingga dapat memunculkan obrolan yang sesuai minatnya.
5. Tetap doakan dan dukung anak remaja, mereka memerlukan pendampingan orang tua walaupun sepertinya tidak.
Marilah kita dedikasikan hidup kita untuk membina tunas-tunas yang sedang mencari jati diri ini dengan kasih dan doa. Read More...

Rabu, 29 Oktober 2008

AKU DIKHIANATI SOBATKU

Pertanyaan:
Bu, saya kesal sama X karena dia mengkhianati saya. Dulu kami sangat dekat, apalagi pada saat mengikuti perlombaan di sekolah (kami satu tim). Tetapi, untuk membeli bahan-bahannya semua dari uang saya, dia tidak keluar sepeserpun. Tapi ngomongnya ke teman-teman di kelas, bilangnya dia yang bayar habis ratusan ribu. Saya cuma diam saja mendengar itu. Dia suka minta ditraktir, kalau "nitip" beli di kantin tidak pernah dikembalikan. Dia itu matre Bu, dikit-dikit uang...dikit-dikit minta traktir, saya kan jadi ga suka. Eh...sekarang, dia suka ngomomngin saya Bu. Saya 'kan jadi kesal! Saya harus gimana ya Bu?

Jawab:
Saya mengerti perasaanmu. Kamu merasa dikhianati karena kamu merasa sobatmu(teman yang paling dekat) hanya memanfaatkan kamu khususnya dalam uang. Mungkin kamu diberikan uang saku yang besar dari orang tuamu dan sobatmu itu tahu. Selain itu, kamu mungkin sulit untuk menjawab "tidak" sehingga mudah dimanfaatkan sobatmu. Saran saya:
1. Bawalah uang saku yang secukupnya, tidak perlu berlebihan. Kalau kamu diberi uang saku yang lebih, usahakan bisa menambung untuk membeli sesuatu yang lebih berguna.
2. Jalinlah persahabatan dengan dasar KASIH , bukan sering mentraktir teman untuk mau bermain dengan kamu (memanipulasi pertemanan hanya dengan uang tidak akan kekal)
3. Kamu perlu memiliki keberanian untuk menjawab "tidak" jika memang kamu tidak ingin memenuhi keinginan sobat/teman/siapa saja. Katakanlah dengan sopan, maka mereka akan mengerti.
4. Kalau memungkinkan, ajaklah sobatmu itu bicara empat mata untuk menyelesaikan masalah kalian. Niat yang baik dan menjaga supaya tidak emosi pada saat bicara sangat diperlukan. Usahakan untuk menyelesaikan masalah bukan memojokan sobatmu.
5. Tidaklah kalah penting, tetap doakan sobatmu.
SELAMAT MENCOBA...
SEORANG SAHABAT MENARUH KASIH SETIAP WAKTU! Read More...

Kamis, 23 Oktober 2008

OBROLAN DI SELA UJIAN

Pagi itu, suasana sekolah sibuk dengan Ujian Praktek bagi kelas 7 – 9. Diantara kesibukan itu, tampak seorang anak berdiri sendiri di depan kelas sambil menekan-nekan keypad handphone-nya. Mulut anak tersebut tampak cemberut dan menampakkan ekspresi wajah yang “jutek”. Anak tersebut menggunakan sepatu yang tidak sesuai dengan tata tertib sekolah. Selain itu, jelas dia tidak mengikuti Ujian Praktek yang sedang berlangsung. Hal itu menarik keingintahuan saya untuk bertanya dan terjadilah dialog seperti di bawah ini.

Konselor
: “ Hai, klien mengapa kamu berada di luar? Bukankah sedang ujian praktek?”
Klien
: “ Ga boleh ikut ujian, Bu!” (dengan nada yang dingin)
Konselor
: “ Yuk, kita duduk di aula yang tenang, biar lebih enak ngobrolnya…”
Klien
: “Ga mau Bu, di situ saja.” (kami duduk di tempat yang pada saat itu tidak terlalu ramai pada waktu itu walaupun kadang dilalui siswa)
Konselor
: “ Coba ceritakan apa yang terjadi sehingga klien tidak boleh ikut ujian…”
Klien
: (Diam saja kemudian mulai menghubungi seseorang melalui hp-nya dan ternyata menghubungi mamanya)
Konselor
: (Hanya memperhatikan klien sampai selesai menghubungi mamanya, setelah itu baru diajak bicara kembali). “Jadi apakah karena sepatu klien tidak boleh ikut ujian?”
Klien
: “ Tadi disuruh lepas sepatu sama ibu X…”
Konselor
: “ Terus…”
Klien
: “Sepatu hitam saya ‘kan basah, jadi saya pakai yang ini”
Konselor
: “Dan kamu lebih memilih tidak melepas sepatu daripada ikut ujian?”
Klien
: “Bukan itu aja Bu. Sebenarnya mau aja buka sepatu Bu, tapi dikit-dikit orang tua dipanggil, masa tiap hari orang tua saya dipanggil supaya bisa ujian. Biarin aja Bu ga ikut ujian”
Klien
: “Saya juga sudah ngumpulin tugas untuk ujian, masa disuruh bikin lagi”
Konselor
: “Tugas sudah klien buat…”
Klien
: “Iya, saya cari tugas nge-download dari internet, eh saya disuruh buat lagi. ‘Kan temen-temen juga banyak yang ngambil dari internet, gurunya aja yang sentimen sama saya.”
(Kemudian ada guru pengawas ujian praktek yang menghampiri dan menyampaikan bahwa klien harus menuliskan lagi tugasnya karena tugas sebelumnya dicontek dari pujangga besar ). (Konselor dan klien diam sampai guru pengawas masuk kelas lagi)
Konselor
: “ Nah, sekarang gimana? Memilih gengsi kemudian tidak ikut ujian atau merendahkan hati mengerjakan tugas dan ikut ujian?
Klien
: (Diam saja)
Konselor
: “ Coba kendalikan emosi dan pikirkan, apa yang klien lakukan sekarang akan berdampak di masa yang akan datang. Paling tidak pada hasil ujian nasional nanti. Ayo, klien bisa coba mengerjakan tugas itu“ (konselor mengambilkan beberapa lembar kertas dan alat tulis)
Klien
: “Ga mau ah Bu” (nada suara sudah mulai lunak)
Konselor
: “Yuk, klien coba dulu menuliskan pengalaman sesuai dengan tema tugas itu, (tema Kasih). Klien bisa menuliskan kasih yang diterima dari teman atau kasih dari siapa saja yang klien alami.”
Klien
: (mulai mengambil alat tulis)
Konselor
: “Baiklah, cobalah untuk menulis dengan tenang” (sambil menepuk pundak klien, konselor memberikan kesempatan klien mengerjakan tugas sendirian)

Siang harinya, saya bertanya kepada guru pengawas ujian praktek tentang keikutsertaan klien dalam ujian hari itu. Dan klien sudah mau mengikuti ujian praktek. Pada saat sudah selesai seluruh ujian praktek hari itu, saya sempat bertanya pada klien yang berjalan pulang, “Bagaimana ujiannya?”, dia menjawab “Iya Bu sudah ikut, saya tadi ga bisa ngendaliin diri. Dengan pelan, saya tepuk pundaknya dan mengatakan “Yuk , kamu bisa mengendalikan diri lebih baik lagi”.
Waktu itu ada dua isu penting yang saya “tangkap” dari obrolan bersama siswa, yang notabene masih remaja, yaitu gengsi dapat menutupi priritas yang berkaitan dengan masa depan remaja dan kreativitas siswa mengerjakan sesuatu yang memanfaatkan teknologi perlu diakui serta diarahkan pada memodifikasi dan inovasi, tidak sekedar men-download dan print.
Silakan Anda yang peduli pendidikan memberikan komentar dan saran yang membangun…Salam -
Read More...